Jakarta – Di tengah diskusi mengenai program makan siang gratis dari kabinet baru Prabowo-Gibran, sebuah istilah yang mengundang rasa penasaran muncul ke permukaan, yaitu susu ikan.
Bagi banyak orang, susu dan ikan merupakan dua hal yang tidak pernah terpikirkan untuk digabungkan. Tapi, tiba-tiba istilah ini justru merebak ke publik.
Benarkah susu ikan akan menggantikan susu sapi dalam program ini? Lantas, apa yang dimaksud susu ikan itu?
Yogie Arry, selaku CEO PT Berikan Teknologi Indonesia, pun muncul untuk menjelaskan fenomena ini. Sebenarnya, perusahaannya memproduksi minuman berprotein tinggi yang terbuat dari asam amino ikan.
“Kami sebenarnya memproduksi minuman berprotein tinggi, bukan susu seperti yang dipahami kebanyakan orang,” jelasnya dikutip dari Tribunnews, Rabu (11/9/2024).
Namun, masyarakat tampaknya memiliki pandangan berbeda. Minuman ini, dengan warnanya yang putih dan tekstur menyerupai susu, mulai disebut-sebut sebagai ‘susu ikan’. Yogie pun mengakui bahwa penggunaan istilah ini datang dari masyarakat.
“Kalau kita pakai itu kan istilahnya minuman protein tinggi asam amino dari ikan, mungkin terdengar terlalu panjang. Jadi masyarakat akhirnya menyederhanakannya menjadi susu ikan,” ujarnya, sambil tersenyum menanggapi fenomena ini.
Istilah yang awalnya terdengar aneh ini pun mulai mendapat perhatian lebih luas. Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, bahkan ikut mengangkat wacana penggunaan susu ikan dalam program makan siang gratis.
Menurut Teten, susu ikan bisa membantu mengurangi ketergantungan pada susu sapi impor. Sebagai negara dengan sektor perikanan yang kuat, Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya lautnya sebagai alternatif protein lokal.
“Ini akan mendukung sektor perikanan nasional dan menyediakan sumber protein yang lebih terjangkau,” katanya.
Namun, tak semua pihak langsung menerima ide ini. Rina Wardhani, seorang dokter gizi klinis, menyatakan bahwa meskipun susu ikan mengandung protein tinggi, ia belum bisa sepenuhnya menggantikan nutrisi penting yang ada dalam susu sapi.
Sementara itu, Kepala Badan Gizi Nasional, Anita Kartika, juga menekankan perlunya kajian mendalam terkait wacana ini. “Kami harus memastikan susu ikan ini memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama anak-anak,” terangnya.
Tidak hanya pakar gizi, kalangan akademisi pun ikut menyoroti istilah susu ikan ini. Kata Dosen Fakultas Peternakan IPB, Epi Taufik, susu ikan tidak memenuhi definisi susu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Susu didefinisikan sebagai cairan yang berasal dari hewan mamalia, seperti sapi, kambing, atau domba. Produk dari ikan lebih tepat disebut sebagai minuman protein berbasis ikan, bukan susu,” tegasnya.
Di tengah berbagai pandangan tersebut, muncul pertanyaan besar, kira-kira apakah susu ikan ini hanyalah sensasi sesaat, atau bisa menjadi solusi nyata untuk program gizi nasional?
Meskipun konsep ini terlihat menjanjikan dari segi kemandirian pangan, ada tantangan yang besar untuk diterima publik dan pengujian gizi.
Susu ikan, yang awalnya terdengar aneh, kini menjadi bagian dari diskusi besar tentang masa depan gizi Indonesia.