Kabarnews.co, JAKARTA – Rencana revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang memungkinkan universitas untuk mengelola tambang memicu kekhawatiran di kalangan akademisi. Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Gabriel Lele, menilai bahwa kebijakan ini berpotensi membawa dampak negatif bagi dunia akademik.
Menurutnya, pemberian izin tambang kepada universitas bukan sekadar peluang ekonomi, melainkan bentuk baru dari korporatisasi kampus yang bisa membungkam suara kritis akademisi.
“Pemberian izin tambang ini sebagai bentuk korporatisasi atau lebih tepatnya bentuk korporatisme baru di lingkungan kampus,” ujarnya dalam laman resmi UGM.
Ia menjelaskan bahwa korporatisme semacam ini merupakan strategi negara untuk memberikan privilege kepada kelompok tertentu, termasuk universitas, dengan syarat tertentu, salah satunya adalah menekan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah.
“Saya justru melihat bahwa hal ini juga merupakan bentuk pembungkaman suara kritis kampus secara halus,” katanya.
Selain itu, Gabriel juga mengkhawatirkan munculnya potensi korupsi atau moral hazard jika universitas mulai mengelola tambang. Ia menyoroti bahwa pengelolaan bisnis seperti pertambangan membutuhkan pendekatan yang berbeda dari dunia akademik.
Ketika universitas nantinya terjun ke dalam pengelolaan tambang maka logika yang digunakan tidak hanya semata-mata logika akademik, tetapi universitas harus menggunakan logika bisnis untuk hitung-hitungan untung dan rugi, dan ini berpotensi menggeser prioritas universitas dari pendidikan dan riset menuju orientasi keuntungan.
Ia pun menegaskan bahwa universitas seharusnya tetap berada dalam koridor akademik dan riset, bukan terlibat dalam dunia bisnis yang memiliki risiko besar terhadap integritas akademik.
Meskipun terdapat pro dan kontra terkait wacana ini, Gabriel menekankan perlunya universitas mengambil sikap yang jelas dan melakukan kajian mendalam terhadap dampak kebijakan ini.
“Kalau ikut misalnya, ya menerima tawaran itu, apa saja yang harus diperhatikan. Kalau tidak ikut, kemudian apa plus minusnya. Jadi yang disebut dengan identifikasi dan manajemen risiko itu harus dilakukan karena itu prinsip dasar dalam setiap kebijakan. Sebab tidak ada satu pun kebijakan yang bebas risiko,” pungkasnya. (*)
Penulis : Rachaddian (dion)